Ketentuan Batas Usia Wali Nasab Dalam Pernikahan
(Analisis Pasal 18 PMA Nomor 11 Tahun 2007 dan Fiqh Al-Syāfi’iyah)
DOI:
https://doi.org/10.54621/jiaf.v11i1.307Keywords:
Fiqh, Batas Usia, Wali NasabAbstract
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah disebutkan salah satu syarat bagi wali nikah adalah baligh (berumur sekurang-kurangnya 19 tahun). Jadi usia baligh menurut ketentuan PMA 11/2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang telah baligh tetapi belum berusia 19 tahun, maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Sedangkan Fiqh Syafi’īyah tidak seperti demikian. Berdasarkan hal di atas maka akan nampak sebuah kesenjangan dalam menetapkan usia baligh. Peraturan Menteri Agama (PMA) menentukan usia baligh minimalnya 19 untuk sah seorang menjadi wali nasab. Sedangkan Fiqh Syafi’īyah tidak seperti demikian. Sehingga butuh sebuah analisa terhadap ketentuan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dari segi jenisnya penelitian ini adalah penelitian kualitatif, bersifat deskriptif analisis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan usia wali nasab menurut Pasal 18 PMA No. 11 Tahun 2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang belum berusia 19 tahun maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Dalam Fiqh Syāfi’iyah tidak ada ketentuan usia wali nasab dalam pernikahan harus mencapai 19 tahun, bahkan orang yang telah berusia 15 tahun pun sah menjadi wali nikah, karena menurut Fiqh al-Syāfi’iyah wali dianggap baligh apabila ia telah mencapai ihtilam yaitu apabila telah mengeluarkan air mani baik dalam mimpi atau dalam keadaan terjaga, sehingga jika seorang wali yang telah berusia lima belas tahun menikahkan saudara perempuannya sedangkan ia belum mencapai umur 19 tahun maka nikahnya dianggap sah, karena perwaliannya dianggap sah.
References
Abdul Wahbah Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Abī Bakr Said Al-Syatā, I’ānatu al-Thālibīn, Jld III, Semarang: Toha Putra.
Abī Syujāk, Matan Ghāyatu Wa al-Taqrīb, Semarang: Toha Putra, tt.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1996.
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progessif, 2002.
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Dadan Muttaqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, Yogyakarta: Insania Citra Press Insania Cita Press, 2006.
Departemen Agama, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2008.
Djaman Nur, Fiqhi munakahat, Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993.
Lexi J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 2005.
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Penerbit Kansius, 2008.
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Al-Fiqh A’lā al-Madzāhibi al-Khamsah, Beirut: Dar al-Kutb, tt.
Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, Cet. IX, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cet. 46, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Syaikh al-Māwardī, al-Hawī al-kabīr, Jld. II, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Syaikh Salīm bin Sumair al-Hadhramī, Matan Safīnatu al-Najāt, Surabaya: al-Hidayah, tt.
Syaikh Zakariyyā al-Ansharī, al-Asnā al-Mathālib, Jld. IX, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Tim Penyusun Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, 2000.
Yahya Harahap, Undang-undang Perkawinan, Cet: I, Bandung: Focus Media, 2005.
Published
Versions
- 2022-06-29 (2)
- 2022-06-29 (1)
How to Cite
Issue
Section
Copyright (c) 2022 Faisal Faisal
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.