Kedudukan Wali dan Hak Ijbār Nikah Bagi Janda di Bawah Umur Dalam Perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah
Keywords:
Kedudukan Wali, Ijbār Nikah, JandaAbstract
Wali tidak boleh menikahkan perempuan yang janda sebelum wali meminta persetujuannya untuk dinikahkan, sebaliknya, apakah ia berhak menikah meskipun tidak ada persetujuan dari walinya, karena janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Namun bagaimana halnya jika janda tersebut masih di bawah umur, sedangkan janda yang belum dewasa dianggap masih belum dapat menentukan dan memutuskan calon suami yang baik. Apakah sah ia menikah walaupun tanpa walinya. Kemudian yang kedua, wali tidak boleh menikahkan perempuan janda itu sebelum wali meminta persetujuannya untuk dinikahkan, karena janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Namun bagaimana halnya jika janda tersebut masih di bawah umur, sedangkan janda yang belum dewasa dianggap masih belum dapat menentukan dan memutuskan calon suami yang baik. Apakah walinya berhak memaksakannya, padahal di suatu segi ia masih di bawah umur sedangkan di segi yang lain ia sudah janda. Oleh karena demikian penulis tertarik membahas masalah ini dengan judul“Kedudukan Wali Dan Hak Ijbār Nikah Bagi Janda Di Bawah Umur Dalam Perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah”. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research). Metode yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif komparatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan wali nikah bagi janda di bawah umur menurut perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah adalah sebagai rukun, sehingga pernikahan yang dilakukan dengan tidak ada wali hukumnya tidak sah meskipun perempuan tersebut janda, apalagi jika ia masih di bawah umur. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad pernikahan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hak ijbār nikah bagi janda di bawah umur menurut perspektif Fiqh Al-Syāfi’īyyah sudah gugur. Ini berarti tidak boleh bagi bapak (sebagai wali nikah) mengawinkan anaknya apabila dia (anak perempuan) itu sudah tsayyib (janda), walaupun dia (anak perempuan) itu di bawah umur. Sesungguhnya bapak itu mengawinkan yang masih kecil, apabila dia itu bikir (gadis).
References
Abdullah Kelib, Hukum Perkawinan Islam, Semarang Tugu Muda Indonesia, 1990.
Abū Abdullah Muhammad ibn Yazīd, Sunan Ibnu Mājah, Jld. 6, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1996.
Al-Imām Al-Ramli, Nihāyatu Al-Muhtāj, Jld. IV, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Al-Imām Al-Taqiyu Al-dīn Abī Bakr Muhammad al-Husaini, Kifāyatu alAkhyār, Beirut: Dar al-Fikr,1414 H.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2008.
Djaman Nur, Fiqhi munakahat ,Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993.
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Khatīb al-Syarbainī, Mugnī Al-Muhtāj, Jld. III, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Mahmud Junus, Pernikahan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Muhammad Ibn Muhammad Khātib Syarbainī, Mughnī Al-Muhtāj, Juz. III, Beirut: Dār Al-Fikr, 200.
Muhammad Khatīb Al-Syarbainī, Al-Iqnā’ Fi Hilli Al-Fādhil Abī Syujjā’, Jld. II, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Syaykh Sulaiman Al-Bujairimī, Hasyiah al-Bujairimī ‘alā Manhaj, Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009.
Wahbah Al-Zuhailī, Fiqhi Islam wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
Published
How to Cite
Issue
Section
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.