Peran Tuha Peut Gampong sebagai Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Harta Warisan
(Studi di Gampong Neubok Badeuk Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie)
DOI:
https://doi.org/10.54621/jiam.v8i2.146Keywords:
Peran, Tuha Peuet, Mediator, Harta WarisanAbstract
Tuha peut Gampong adalah unsur pemerintahan Gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawarahan Gampong, tuha peut juga merupakan tokoh lembaga adat yang menyelesaikan persengketaan masyarakat, salah satunya yaitu penyelesaian harta warisan. Dalam hal ini tuha peut hanya mediator yang mencoba membantu mendamaikan dan menyelesaikan perkara bukan untuk memutuskan. Adapun permasalahan yang ingin diteliti adalah bagaimana peran tuha peut Gampong sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa harta warisan di Gampong Neubok Badeuk Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena metode tersebut dapat menjelaskan fenomena masyarakat yang diteliti.Sedangkan untuk mengungkapkan gejala yang ada dalam masyarakat, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif untuk memberikan gambaran tentang peran tuha peut Gampong dalam menyelesaikan sengketa. Dalam hal ini penulis menggunakan sumber data primer yaitu anggota tuha peut Gampong. Penulis juga menggunakan dokumen dan referensi lainnya yang relevan. Sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa disaat persengketaan warisan terjadi pada masyarakat, satu-satunya jalan adalah mencari sosok mediator yang bijaksana dan mampu dalam sengketa yang dihadapi masyarakat, kebiasaan yang telah terjadi sengketa masyarakat selesai di tangan tuha peut yang mana dalam memproses perkara, tuha peut tidak membenarkan satu pihak dan menyalahkan pihak yang lain, dalam proses perdamaian, tuha peut mencoba semaksimal mungkin untuk menyatukan hubungan kekeluargaan yang sempat hancur karena persoalan harta. Penyelesaian yang dilakukan oleh tuha peut Gampong yaitu menggunakan prinsip kebijaksanaan antara ahli waris dengan persetujuan ahli waris itu sendiri. Demi menjaga kerukunan dan persaudaraan antara para pihak yang bersengketa.
References
A. Malik Musa, “Ikafhuma Aceh”, Jurnal Kewenangan-Peran dan Tugas Lembaga Tuha Peut -23.html, (online), di akses 06 Desember 2019.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet VI, (Jakarta: Kencana, 2008.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Warisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, cet. III, Jakarta: Gunung Agung, 1995.
Fathur Rahman, Ilmu Waris, cet. III, Bandung: Al-Ma’rif,1995.
Hasbi As-Siddiqiey, Peradilan Dan Hukum Acara Islam, Semarang: Rizki Putra, 2001.
Karimuddin, K., & Abdullah, A. (2021, January). CHILD SUSTENANCE AFTER DIVORCE ACCORDING TO FIQH SYAFI’IYYAH. In Proceeding International Seminar of Islamic Studies (Vol. 2, No. 1, pp. 101-107).
Karimuddin, K., Abbas, S., Sarong, A. H., & Afrizal, A. (2021). Standardisasi Nafkah Istri: Studi Perbandingan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i. Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, 23(1), 83-95.
Mahmud Ahmad, Ilmu Faraidh Praktis, Banda Aceh: Yasayan Pena, 2012, h.18.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: At-Tahiriyah, 1976.
Syaikh Abi Bakar Syatta, I’anatu Al-Thalibin, juz III, Semarang: Toha Putra, tt.
Syaikh Syarkawi, At-Tahrir, juz III, Surabaya: Al-Hidayah,tt.
T M. Hasbi Ash-shiddiqiey, Fiqh Mawaris, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang,1973.