Kedudukan Wali Adhal Dalam Menikahkan Anaknya
Keywords:
Wali Adhal, Perkawinan, AnakAbstract
Perkawinan adalah sebuah perjanjian yang sakral. Oleh sebab itu, institusi perkawinan harus dihormati, dilaksanakan dan dilestarikan oleh kaum Muslimin sebagai bentuk pengejawantahan rasa cinta umatnya terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW. Perkawinan dalam ajaran Islam sarat dengan aturan-aturan syari’at yang sudah baku, yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun nikah yang telah diajarkan oleh Rasulullah, yang harus diikuti dan dipedomani oleh setiap umatnya. Namun, fenomena sekarang ini terdapat kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dimana seorang ayah kandung enggan menikahkan anak perempuannya dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan syara’ sehingga anaknya tersebut mengajukan permohonan penetapan wali adhal ke Mahkamah Syar’iyah. Maka di sini penulis mengangkat permasalahan tersebut dalam rumusan masalah, bagaimana kedudukan seorang wali yang menolak menikahkan anak perempuannya. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena untuk mendapatkan data, penulis melakukan studi kepustakaan. Dari hasil penelitian ini, maka penulis menghasilkan temuan bahwa kedudukan wali yang enggan menikahkan anaknnya akan berpindah kepada wali hakim berdasarkan putusan hakim pada Mahkamah Syar’iyah, dan yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pada perkara wali adhal adalah alasan wali menolak menikahkan anaknya tidak sesuai dngan syara’ dan ketidakhadiran wali dalam persidangan.
References
Abdul Aziz, Fiqh Munakahat, Jakarta: Grafika Offset, 2009.
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Komplikasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Andalan, 1994.
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Cet. I, Juz.I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Ed. I, Jakarta: Kencana, 2003.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. I, Ed. 1 Jakarta: Kencana, 2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983.
Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2, Bab II, Cet. 2, Bandung: Tim Nuansa aulia 2009.
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Muhammad Jawad Mughniyah, Al- Fighu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. I, Jakarta: Basrie Press, 1994.
Pagar, Himpunan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, Pasal I Bab I, Medan: Perdana Publishing, 2010.
S. Nasution, Metode Research, Yogyakarta: Bumi Aksara, 1996.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terjm: Muhammad Thalib), Judul Asli: Fighussunnah, Cet. I, Bandung: Alma’arif, 1981.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Umdah, Keengganan Wali Untuk Menikahkan Putrinya, Edisi: 6, (Samalanga: 2014.
Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz 9, terj. Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Zainuddin Ibn ‘Abdul ‘Aziz Al-Malibari, Fathul Al-Mu’in, Semarang: Usaha Keluarga, tt.